PARARUPA | IHWAL TENTANG SEMBILAN GAYA YANG SALING BERCERMIN

PARARUPA : Ihwal tentang sembilan gaya yang saling bercermin.

Sebelum angka nol ditemukan dalam bilangan numerik, segala yang teramati di alam bersifat terukur. Yang nyata selalu berlipat sembilan, dan angka ini menjadi elemen dasar perhitungan. Angka nol menjadi realitas tak berhingga, mentransformasi yang tertutup menjadi terbuka. 

Pytagoras, filsuf Agung Yunani, mendedahkan karakter dasar kenyataan dalam bilangan sembilan. Kalangan Sufi dari Samarkand dan Jawa, membaca bilangan sembilan yang magis, hingga kita mengenal Wali Sanga, Sembilan Aulia yang mulia. Psikologi modern telah memperkenalkan Eneagram, sembilan karakter manusia, sebagai cara pembacaan perilaku. Demikianlah dengan Sarikat Sudut Siwa, komunitas perupa berjumlah sembilan (Siwa) yang mencoba melihat ekspresi diri melalui sembilan sudut. Jumlah mereka yang tetap, dengan personal yang berganti ganti, memberikan saksi pada gaya semasa.

Kebersamaannya menjadi wahana saling bercermin, sekaligus mencari jalan bagi pengungkapan diri yang otentik.


Pararupa

Seni pada galibnya merupakan transformasi dari benda ke ide. Berasal dari kata trans (para) dan form (rupa, bentuk) ; maka pararupa merupakan transformasi dari dunia alam ke dunia seni. Pararupa berbicara tentang yang nyata. Yakni tindakan kreatif yang mengalihkan ke-nyata-an (present) menjadi per-nyata-an (re-present).

Berdasarkan kerangka ini, kita dapat menyusuri bagaimana presentasi (kenyataan) individual menjadi representasi (pernyataan) kolektif. Sembilan seniman ini menggelar sembilan pernyataan visual yang dapat dibeberkan berikut.

Metaverse Aco, menampilkan imajinari dunia dan jejak masa depan yang dibayangi oleh kecerdasan buatan dan hilangnya otonomi manusia. Apakah dengannya seni menjadi mungkin? Apakah yang nyata merupakan bayangan yang maya, atau sebaliknya?

Mindscape. Ade Dhinus membuka pertanyaan. Apakah resepsi kita tentang yang nyata dipengaruhi konstruk kesadaran ataukah relasi dengan alam. Apakah persepsi dibangun oleh interaksi?

Singularitas. Kris merekam jejak musik menjadi tanda rupa yang terbaca. Dimana kekacauan diorkestrasi, dan kebulatan sebagai ruang jeda. Abstraksi dibentuk oleh aksi demi aksi. Suara dan cahaya adalah garis dan titik.

Topologi. Rusli membangun kembali ornamental arkais, baik dalam bahasa dan tenun, menjadi mitos dan panduan dalam komunikasi. Seni pada hakekatnya membangun tatanan yang semula jadi.

Hasrat. Sebagai penggerak kehidupan yang berenang pada alam bawah sadar, hasrat menjadi penyebab gairah untuk hidup dan gairah untuk mati. Yula Setyowidi, merayakan tubuh dan aparatusnya sebagai tanda keberadaan.

Patos-Eros. Wisnu Aji mendapatkan perang dan damai sebagai naluri pemujaan pada yang musnah sekaligus naluri cinta untuk mempertahankan kehidupan. Antara kenyataan dan pernyataan selalu dibingkai oleh kekuasaan.

Gerak Memori. Phalonk mendedah bentuk figuratif sebagai jejak ingatan, dalam garis murni dan warna dasar. Mengalihkan apa yang telah dikenal sebagai penanda bersama.

Entitas Benda. Sidik merepresentasi objek sebagai bentuk pengalaman langsung. Benda benda hadir secara intersubyektif namun tetap berdiri sendiri dalam entitasnya. Lansekap warna merupakan pantulan responsif dari rasa.

Divergensi x Konvergensi. Aziz menyusuri keberadaan yang berlawanan sebagai daya untuk keseimbangan. Keberlanjutan adalah kekuatan konvergen untuk terus menciptakan. Ia menenun kesadaran dalam benang peristiwa yang koheren.

Demikianlah sembilan gaya ini, membuka pertanyaan sekaligus pernyataan, bagaimana kita berhadapan dengan kompleksitas kenyataan sehari hari.

Kurator : Loja DANGUMANU